Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1967 (5): Operasi (Satu Kata Hilang) CIA dalam Tahun 1965
Mengenai
CIA pada tahun 1965, kita mengetahui dari kesaksian dan pengakuan
mantan anggota CIA, Ralph Mc Gehee, yang anehnya secara menakjubkan
diperkuat oleh sensor yang selektif dari mantan atasannya di CIA. Bila
keadaan atau bukti yang diperlukan tidak ada untuk mendukung adanya
intervensi AS, CIA menciptakan situasi yang tepat dan serasi, membuatnya
dan menyebarluaskan pemutarbalikan fakta dengan pembiasan melalui
operasi medianya.
Melanjutkan tulisan sebelumnya,
"Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1966 (4): Dukungan AS
kepada Kelompok Soeharto Sebelum Gestapu", karya Peter Dale Scott,
seorang mahaguru Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat.
Sebaiknya dibaca berurutan (1), (2), (3), dan (4). Untuk memudahkan
membaca buka halaman ini dalam 2 halaman, 1 untuk teks ini, 2 untuk
catatan kaki.
Selamat membaca!
Operasi (Satu Kata Hilang) CIA dalam Tahun 1965
Kurang
dari setahun setelah terjadinya Gestapu dan pertumpahan darah, dengan
penuh kebanggaan James Reston menulis peristiwa tersebut sebagai
“secercah sinar di Asia.” Washington agaknya berhati-hati untuk
menyatakan mempunyai saham dalam perubahan di negara yang penduduknya
paling padat ke enam dan salah satu yang terkaya di dunia.
Tetapi
hal ini tidak berarti bahwa Washington tidak ada kaitannya dengan
kejadian-kejadian di Indonesia. Ada banyak kontak antara kekuatan anti
komunis di negara itu dan setidak-tidaknya ada seorang pejabat sangat
tinggi di Washington yang mengetahui sebelum dan selama pembantaian di
Indonesia, daripada yang disadari dan diketahui oleh umum.
Mengenai
CIA pada tahun 1965, kita mengetahui dari kesaksian dan pengakuan
mantan anggota CIA, Ralph Mc Gehee, yang anehnya secara menakjubkan
diperkuat oleh sensor yang selektif dari mantan atasannya di CIA. Bila
keadaan atau bukti yang diperlukan tidak ada untuk mendukung adanya
intervensi AS, CIA menciptakan situasi yang tepat dan serasi, membuatnya
dan menyebarluaskan pemutarbalikan fakta dengan pembiasan melalui
operasi medianya.
Contoh yang mencolok dan mirip adalah
Cile. Terganggu oleh keengganan militer Cile bertindak terhadap
Allende, CIA memalsukan sebuah dokumen yang mengakui pengungkapan dan
pembongkaran rencana kaum kiri untuk membunuh pimpinan militer Cile.
“Penemuan rencana ini” dimuat dalam halaman depan media, dan Allende
kemudian diturunkan dan dibunuh.
Ada kesamaan antara
kejadian yang mempercepat penggulingan Allende dan apa yang terjadi di
Indonesia tahun 1965. Perkiraan jumlah korban kematian yang terjadi
sebagai hasil operasi (satu kata dihilangkan) CIA terakhir berkisar
antara setengah juta sampai lebih dari sejuta orang.
Mc
Gehee menyatakan pernah melihat —ketika meninjau kembali
dokumen-dokumen CIA di Washington— sebuah laporan yang sangat
dirahasiakan atas peranan badan tersebut dalam memprovokasi
penghancuran PKI sesudah Gestapu. Rupanya tepat untuk minta Kongres
meninjau kembali dan mengumumkan laporan seperti itu, jika, seperti
diduga, CIA mengajukan teknik kejam sebagai model untuk operasi.
Operasi
yang akan datang rupanya perlu mendokumentasikan titik balik utama
dalam sejarah operasi badan tersebut, terhadap eksploitasi sistematik,
dari operasi-operasi regu kematiannya yang tidak terdapat dalam coup
di Brasil tahun 1964, membuat program kontra pemberontakan Phoenix di
Vietnam yang terkenal karena kekejamannya sesudah 1967, dan sesudah
1968 meluas dari Guatemala menjalar ke negara negara Amerika Latin
lainnya.
Pernyataan Mc Gehee tentang operasi perang
urat saraf CIA terhadap Allende diperkuat oleh Tad Szule. Agen-agen CIA
di Santiago membantu intelijen militer Cile merancang dokumen
rencana-rencana palsu seolah-olah Allende dan pendukungnya merencanakan
memenggal para komandan militer Cile. Hal ini dihembuskan oleh Junta
untuk membenarkan coup-nya.
Operasi tipu muslihat
terhadap Allende rupanya bahkan berkembang lebih jauh, dengan
menakut-nakuti baik golongan kiri maupun kanan dengan pembunuhan yang
baru dimulai oleh lawan-lawannya. Anggota-anggota serikat pekerja maupun
jenderal-jenderal yang konservatif menerima kartu kecil dengan
tulisan tercetak kata-kata ancaman: Djakarta se acerca (Djakarta sudah
makin dekat).
Jumlah dan model suatu rencana
destabilisasi meyakinkan semua yang berkepentingan bahwa mereka tidak
ada harapan lagi untuk dilindungi status quo. Operasi seperti ini
melemahkan kalangan garis tengah dan menimbulkan banyak provokasi
kekerasan diantara golongan kiri maupun kanan.
Model
semacam itu rupanya juga diterapkan di Laos pada tahun 1959-1961 yang
dijelaskan oleh seorang anggota CIA kepada seorang wartawan bahwa
tujuannya adalah mempolarisasikan Laos. Dan rupanya hal itu diikuti
pula di Indonesia pada tahun 1965. Pengamat seperti Sundhaussen
menyatakan bahwa untuk mengerti kisah coup Oktober 1965 pertama-tama
harus mengamati “pasaran desas-desus” yang dalam tahun 1965 ternyata
menjadi cerita gila-gilaan yang tidak masuk akal.
Pada
14 September, dua minggu sebelum coup, Angkatan Darat diperingatkan
bahwa ada rencana membunuh pimpinan tentara empat hari kemudian.
Laporan kedua, seperti dibicarakan di Markas Besar AD tanggal 30
September.
Tetapi setahun sebelumnya —sebuah dokumen
yang diduga sebagai dokumen PKI tetapi dinyatakan oleh PKI sebagai
suatu pemalsuan— ada uraian tentang rencana menggulingkan kaum
pengikut Nasution melalui infiltrasi dalam tubuh AD. Dokumen ini
—yang dilaporkan politisi pro-AS, Chaerul Saleh, pertengahan Desember
1964— telah memberi keyakinan kepada Soeharto untuk menyelenggarakan
pertemuan persatuan tentara bulan berikutnya.
Ketegangan
AD meningkat dengan desas-desus sepanjang tahun 1965 bahwa daratan
Cina menyelundupkan senjata untuk PKI guna mengadakan revolusi yang
sudah dekat dan sebentar lagi meletus. Dua minggu sebelum Gestapu,
cerita dengan tujuan ini juga muncul di harian Malaysia yang mengutip
dari sumber di Bangkok dan pada gilirannya mengacu pada sumber dari
Hong Kong.
Ketidakmungkinan dilacak secara
internasional seperti ini adalah gaya atau ciri-ciri cerita dalam
periode ini yang berasal dari apa yang dinamakan “orang dalam CIA”
sebagai “wurlitser yang perkasa” milik mereka yaitu jaringan ‘aset’
pers dunia yang digunakan oleh CIA atau badan sejenis M-16 dari
Inggris yang dapat menanamkan berita dengan tidak menimbulkan
disinformasi.
Tuntutan PKI untuk membentuk milisi
rakyat atau “angkatan kelima” serta pelatihan Pemuda Rakyat di Lubang
Buaya rupanya sedikit banyak menakutkan bagi tentara Indonesia dengan
tambahan cerita-cerita mengenai persenjataan dari Cina. Namun
berbulan-bulan sebelum coup, paranoia PKI terus berlangsung dengan
mengulang-ulang laporan bahwa Dewan Jenderal yang didukung CIA sedang
dirancang untuk menindas PKI.
Sudah tentu dongeng tentang
Dewan Jenderal (fiktif) inilah yang dinyatakan Untung sebagai sasaran
dari coup Gestapu dengan dalih anti CIA. Tetapi desas-desus seperti
itu tidak hanya berasal dari sumber-sumber anti-Amerika, bahkan
sebaliknya acuan yang diumumkan oleh yang berwenang pertama mengenai
adanya dewan ini terdapat dalam tulisan wartawan Washington Post:
Evans dan Novak.
Kembali ke bulan Maret, Panglima Divisi
Siliwangi —Jenderal Ibrahim Adjie— menyatakan sebagaimana dikutip
oleh dua wartawan Amerika itu bahwa: “kaum komunis telah kita tumpas
sebelumnya (di Madiun). Kita terus mengkaji dan mengkaji mereka.”
Kedua wartawan itu mengatakan memiliki informasi bahwa: “AD telah
membentuk komisi penasehat secara diam-diam dan terdiri dari lima
orang jenderal untuk memberikan laporan kepada Jenderal Yani dan
Jenderal Nasution tentang kegiatan PKI.”
Mortimer
melihat terbunuhnya lima jenderal selain Yani oleh Gestapu sebagai
signifikan sejauh menyangkut koinsidensi dengan jumlah jenderal yang
menjadi sasaran Gestapu sesuai yang ditulis oleh Novak dan Evans. Kita
juga terpukau oleh kebangkitan kembali citra Yani dan Nasution di
Amerika Serikat sebagai perencana anti PKI, lama sesudah beredar cerita
di pers AS bahwa CIA telah lama mencoret kedua jenderal itu karena
enggan melawan Soekarno.
Jika eliminasi pesaing
politik Soeharto di lingkungan Angkatan Darat melalui Gestapu harus
dituduhkan kepada kaum kiri, maka skenario baru hanya membutuhkan
kebangkitan kembali citra anti-komunis yang dilupakan para jenderal
dalam operasi terhadap Soekarno.
Suatu riwayat ganjil
tentang Nasution pada bulan Agustus 1965 dalam The New York Times
—berdasarkan hasil wawancara tahun 1963— tetapi kemudian diterbitkan
lagi hanya setelah keluar ucapan Nasution ketika menanggapi serangan
terhadap pangkalan Inggris di Singapura. Sekadar untuk menyatakan bahwa
Nasution yang “dianggap lawan paling gigih dari komunisme di
Indonesia” dan bahwa Soekarno didukung oleh PKI, telah melancarkan
kampanye Angkatan Darat sebagai suatu kekuatan anti komunis.
PKI
Siap Tempur. Kelompok Nasution berharap bahwa PKI akan menarik picu
lebih dulu, tetapi justru tidak dan tidak akan dilakukan oleh PKI. PKI
tidak membiarkan diprovokasi seperti dalam peristiwa Madiun. Namun
akhirnya hanya tersisa dua kekuatan: PKI dan Kelompok Nasution. Garis
tengah tidak mempunyai alternatif kecuali memilih perlindungan dari
yang lebih kuat.
Orang nyaris tidak dapat berharap
memperoleh pengertian memadai dari propaganda yang diperlukan dimana
tampak keterlibatan dan rekayasa CIA. Artikel Mc Gehee —setelah
disensor oleh CIA— lebih sempit lagi menyoroti hanya peranan CIA dalam
propaganda anti PKI.
Badan yang menganggap peluang ini
(respon Soeharto terhadap Gestapu) dan berupaya menghancurkan PKI ...
(delapan kalimat hilang) ... karangan media, memegang peranan kunci
dalam menggugah kebencian massa terhadap PKI. Foto dari mayat jenderal
yang telah rusak berat ditampilkan dalam semua harian dan di televisi.
Cerita yang menyertai foto-foto dengan bohong menyatakan bahwa para
jenderal kemaluannya dipotong dan matanya dicungkil oleh anggota
Gerwani. Kampanye yang diciptakan secara sinis dirancang wntuk menyulut
kemarahan publik terhadap orang-orang komunis dan menyiapkan tahap
pembantaian.
Mc Gehee menambahkan bahwa cerita
propaganda tentang penyiksaan oleh wanita-wanita histeris dengan pisau
cukur —yang ditolak oleh sarjana-sarjana yang serius sebagai tidak
berdasar— telah disegarkan kembali dalam versi yang lebih canggih oleh
seorang wartawan AS, John Hughes, yang sekarang menjabat ketua
jurubicara Departemen Luar Negeri AS.
Pasukan
Soeharto —khususnya Kolonel Sarwo Edhie dari RPKAD— secara terbuka
terlibat dalam eksploitasi tubuh para korban secara sinis. Tetapi
beberapa aspek kampanye propaganda secara besar-besaran rupanya
didalangi oleh orang-orang bukan Indonesia. Sebagai contoh adalah tajuk
rencana yang mendukung Gestapu —yang dipermasalahkan— terbit di
Harian Rakyat (surat kabar PKI), tanggal 2 Oktober 1965. Profesor
Benedict Anderson dan Ruth Mc Vey yang mempertanyakan kebenarannya
juga mengesampingkan kemungkinan bahwa benar kabar itu adalah
“pemalsuan oleh AD” hanya atas dasar bahwa “kemampuan tentara
memalsukan dokumen partai teramat sangat rendah.”
Pertanyaan
yang diangkat Anderson dan Mc Vey belum juga terjawab secara tuntas.
Mengapa PKI tidak menunjukkan dukungan kepada coup Gestapu ketika hal
itu sedang berjalan, dan lalu dengan gegabah membuat tajuk rencana
mendukung Gestapu setelah ia ditumpas? Mengapa PKI yang tajuk rencananya
mendukung Gestapu gagal mengerahkan atau memobilisasikan massa
pendukungnya untuk bertindak atas nama Gestapu? Mengapa Soeharto yang
waktu itu menguasai Jakarta, menutup semua surat kabar kecuali yang satu
ini —Harian Rakyat— dan sebuah surat kabar lagi yang cenderung ke
kiri-kirian yang juga melayani tujuan-tujuan
propaganda-propagandanya?.
Dengan kata lain, mengapa
pada 2 Oktober Soeharto hanya mengizinkan dua surat kabar ini untuk
terbit, yang sudah jelas akan mengalami nasib akan ditutup
selama-lamanya?
Seperti dinyatakan pada awal tulisan ini
bahwa agak lucu dan tolol untuk menganggap bahwa pada tahun 1965,
kekerasan satu-satunya timbul dari pemerintah AS, militer Indonesia dan
saling hubungan mereka dengan intelijen Inggris dan Jepang. Suatu
tulisan yang lebih panjang lagi dapat mendiskusikan tindakan pro-aktif
PKI dan Soekarno sendiri dalam keruntuhan sosial ini. Dari satu sudut
pandang, tentu tidak seorangpun dapat menjamin menguasai kejadian
dalam masau kacau ini.
Namun untuk dua alasan
penyiapan secara obyektif dari kejadian-kejadian menurut model
terakhir, rupanya tidak tepat dan tidak cukup nalar. Pertama, seperti
diakui berdasarkan studi CIA sendiri, kita bicara tentang “pertumpahan
darah yang sangat mengerikan pada masa itu”, yang taraf kekerasannya
tidak dapat dibandingkan lagi dengan tindakan sayap kiri: dalam
peristiwa Bandar Betsi: yang terkenal dan dipublikasikan secara luas
sehubungan dengan terbunuhnya seorang letnan AD di perkebunan Bandar
Betsi, Sumatera Utara, dalam tahun 1965 juga.
Kedua,
skenario yang digambarkan Mc Gehee untuk 1965 dapat dilihat tidak
sekadar menjawab provokasi, paranoia dan kekacauan belaka yang terjadi
pada tahun itu: tetapi juga bisa dinilai sebagai salah unsur pendorong
yang “membesarkan hati dan meyakinkan secara aktif untuk melakukan
tindakan-tindakan pembalasan.”
Perlu dicatat bahwa mantan
Direktur CIA William Colby berulangkali menyangkal keterlibatan CIA
atau unsur AS lain dalam pembantaian tahun 1965 (berkaitan dengan
tiadanya Gugus Tugas Khusus CIA dimana Colby saat itu (1962-1966)
menjabat sebagai Kepala Divisi Asia Timur yang selayaknya bertanggung
jawab atas operasi CIA di Indonesia). Namun sanggahan Colby agaknya
selalu dikaitkan dengan sebuah cerita yang tidak dapat dipercaya. Yaitu
tentang rencana PKI merebut kekuatan politik, sebuah cerita yang
disegarkannya kembali pada tahun 1975.
“Indonesia meledak
dengan tuntutan akan kekuasaan oleh partai komunis terbesar di dunia
di luar tirai (Cina dan Uni Soviet). Membunuh pimpinan Angkatan Darat
dengan persetujuan Soekarno secara diam-diam dan dibias-biaskan
sebagai pembalasan.”
CIA sendiri, memberikan arus
laporan terus-menerus tentang proses studi Indonesia pada masa itu,
walau tidak mempunyai arti apapun dalam alur peristiwa itu
sendiri.
Menyatakan masalah keterlibatan AS dalam
operasi pembunuhan sistematis ini penting dan khusunya mengetahui
lebih banyak tentang laporan CIA yang dinyatakan dan dilihat sendiri
oleh Mc Gehee. Ia mengatakan: “badan ini sangat bangga atas
keberhasilan (satu kata hilang) dan menganjurkannya sebagai satu model
untuk operasi masa depan (setengah kalimat hilang).
Duta
Besar Marshall Green melaporkan suatu wawancara dengan Presiden Nixon
pada tahun 1967: “Pengalaman Indonesia menarik perhatiannya (Nixon)
karena segala sesuatunya telah berlangsung dengan baik-baik saja. Saya
kira ia sangat tertarik pada seluruh pengalaman itu dengan menunjuk
cara yang harus (!) kita lakukan dalam hubungan yang lebih luas di
Asia Tenggara umumnya dan mungkin di dunia.
Penafsiran
yang dapat dibandingkan seperti itu membantu menjelaskan peranan
orang Indonesia dalam penggulingan pemerintahan di negara lain yang
disponsori Nixon seperti terhadap Sihanoek di Kamboja tahun 1970,
pemanfaatan “skenario Jakarta” untuk penggulingan Presiden Allende di
Cile tahun 1973 dan sponsorship AS dewasa ini bersama dengan
rezim-regu kematiannya di Amerika Tengah.(Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar