Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir
di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai seorang ulama
dan pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu
Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang
sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat Jihadnya : Perang Padri
Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik
sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama
perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang
Minang dan Mandailing atau Batak umumnya karena kekufuran dan
pembangkangannya kepada syari’at Islam.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan
pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan
syariat Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian pemimpin
ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau
untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat
untuk meninggalkan beberapa kebiasaan jahiliyah yang tidak sesuai dengan
Islam seperti berjudi, sabung ayam, mabuk-mabukan, pesta jahiliyah dll.
Bahkan Imam Bonjol dan kawan-kawan Ulama’nya yang sering memergoki dan
menumpas mereka (kaum Adat) yang suka melakukan maksiat sering difitnah
sebagai Wahhabi oleh para pemimpin adat mereka, meski Tuanku Imam Bonjol
bukan seorang Salafi Irdja’i yang mudah menyesatkan orang. Sampai saat
ini, Wahhabi menjadi tren fitnah nomor wahid yang ditujukan kepada para
Ulama’ yang ingin menerapkan Hukum Alloh. sudah sunnatulloh.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Paderi
(penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa
nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum
Paderi dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung karena
penolakannya terhadap syari’at Islam pada tahun 1815, dan pecahlah
pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah
terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek
(pedalaman Minangkabau) kepada Kafir Belanda dalam perjanjian yang
ditaken di Padang, sebagai kompensasi kepada Kafir Belanda yang bersedia
membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa
keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal
Alam Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi.
Campur tangan Kafir penjajah Belanda dalam perang itu ditandai dengan
penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan
Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di
Padang. Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena
“diundang” oleh kaum Adat yang masih kafir.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat
dan kaum Paderi melawan Kafir Belanda, kedua pihak bahu-membahu
melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu
melawan Kafir Belanda karena pihak Adat telah mau mengikuti Syari’at
Islam dengan idzin Alloh. Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini
dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak
Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan
Kitabullah (Al-Qur’an)).
Tuanku Imam Bonjol berkata “Adopun hukum Kitabullah banyak lah
malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?” (Adapun banyak hukum
Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)
Jihad heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda
yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16
Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan
kepahlawanannya menentang penjajahan, serta rincian laporan G. Teitler
yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol
1834-1837.
Penyerangan benteng kaum Paderi (Ulama) di Bonjol oleh kafir Belanda
dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara
yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai
suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon yang pengkhianat. Dalam
daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral
Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu
Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga
terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) yang pengkhianat seperti
Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto
Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa,
4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen
(pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol
dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan
pertahanan Paderi.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda,
dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang,
Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4
korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada
serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara
Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara
Belanda.
Penangkapan dan Pengasingan Hingga Wafat
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka kafir penjajah Belanda
mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya,
kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi
untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda
mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri
kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh
parit-parit, suatu negeri yang indah dikarenakan memakai hukum Alloh
dalam kehidupan bermasyarakatnya. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837,
Bonjol dapat dikuasai (dengan izin Alloh) setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh
untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke
Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia
pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut. Beliaulah mujahid dimasanya. Semoga Alloh
menerimanya. Dan kita dapat memetik hikmah dan pelajaran darinya.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November
1973.(Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar