Rancangan Undang-Undang Pendidikan
Tinggi batal disahkan. Tetapi kita tidak boleh merasa puas dan menang.
Sebab, apa yang kita sedang lawan saat ini bukan sekedar sebuah RUU,
melainkan sebuah ideologi yang ingin menjadikan pendidikan sebagai lahan
bisnis.
Ideologi itu sedang bekerja di
mana-mana. Banyak pemerhati pendidikan, khususnya di Eropa, menyebutnya
“serangan terhadap pendidikan publik”. Serangan terhadap pendidikan
publik terjadi dimana-mana: Chile, Kolombia, Inggris, Kanada, Spanyol,
Taiwan, bahkan di Amerika Serikat. Dengan demikian, upaya menjadikan
pendidikan sebagai lahan profit sedang menjadi kecenderungan kapitalisme
global.
Di Chile, sudah dua tahun ini
mahasiswa terlibat konfrontasi dengan pemerintah yang berusaha mengubah
pendidikan menjadi lembaga profit. Sedangkan di Kolombia, gerakan
mahasiswa berhasil membuat pemerintahan sayap kanan bertekut lutut. Di
Quebec, Canada, protes kenaikan biaya memobilisasi 200.000-an mahasiswa
dan rakyat turun ke jalan-jalan.
Salah satu ciri umum dari
serangan ini adalah mengurangi peran negara dalam pembiayaan pendidikan
dalam bentuk pemangkasan anggaran pendidikan. Di banyak negara, seperti
di Quebec (Kanada) dan Inggris, agenda ini akan memicu kenaikan biaya
pendidikan berkali-kali lipat.
Di Indonesia, upaya ini terbaca
dengan adanya proposal “otonomi perguruan tinggi”, yakni sebuah upaya
sistematis untuk melepas tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan
pendidikan. Otonomi ini mencakup akademik dan non-akademik. Otonomi
akademik menyiratkan lepasnya proses keilmuwan perguruan tinggi dari
campur-tangan negara. Pada kenyataannya, otonomi akademik ini lebih pada
komersialisasi proses-proses akademik.
Sedangkan otonomi non-akademik,
khususnya di bidang keuangan, akan memaksa perguruan tinggi mencari
lahan pembiayaan sendiri. Paling sering adalah dengan membebankan biaya
pendidikan kepada peserta didik. Hal ini akan membatasi akses masyarakat
luas terhadap hak mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi. Dalam
kasus lain, misalnya pengelolaan sarana-prasarana, perguruan tinggi
otonom akan menyewakan fasilitas kampusnya dengan mahal sebagai jalan
mendapatkan pembiayaan. Perguruan tinggi otonom juga dibolehkan
mendirikan badan usaha untuk mendapatkan pendanaan.
Di sini sebetulnya terjadi
pergeseran paradigma: manfaat pendidikan tidak lagi dianggap untuk
publik atau bangsa, melainkan manfaat bagi individu-individu. Karenanya,
individu penerimaan manfaat ini harus membayar atas manfaat yang
diterimanya. Negara pun bukan lagi penerima manfaat pendidikan.
Karenanya, ia tidak punya hak untuk mengatur pendidikan dan mengarahkan
sesuai kepentingannya. Pendidikan pun tidak lagi melayani kepentingan
umum, melainkan melayani kepentingan bisnis.
Ideologi bisnis dalam pendidikan
jelas akan melahirkan segmentasi, pengecualian (penyingkiran),
diskriminasi, dan selektivitasi. Hanya mereka yang punya daya beli yang
sanggup mengakses pendidikan. Kualitas pendidikan pun akan disesuaikan
dengan kemampuan membayar: pendidikan yang dianggap berkualitas tinggi
hanya bisa diakses mereka yang sanggup membayar lebih mahal.
Kekayaan tertinggi suatu bangsa
terletak pada pengetahuan rakyatnya. Ia adalah investasi sosial jangka
panjang. Karena itu, tidak ada alasan bagi negara untuk melepas
pendidikan ke tangan pasar. Tetapi, sayang sekali, pemerintah Indonesia
secara pelan-pelan memang sengaja lepas tangan dalam pendidikan. Ini
bisa dilihat pada anggaran pendidikan yang sangat rendah: anggaran
pendidikan kita masih berkisar 3,41% dari PDB. Sedangkan negara-negara
tetangga seperti Malaysia dan Thailand masing-masing 7,9% dan 5,0% dari
PDB-nya. UNESCO sendiri menyerukan anggaran ideal untuk pendidikan
adalah 6% dari PDB.
Ideologi ini jelas berlawanan
dengan tujuan nasional kita: mencerdaskan kehidupan bangsa. Semangat
pembukaan UUD 1945 mengisyaratkan bahwa pendidikan nasional kita
seharusnya universal dan gampang diakses rakyat. Tidak hanya itu, tujuan
penyelenggaraan pendidikan kita mesti punya tujuan: mencerdaskan,
membebaskan, dan membentuk karakter berkepribadian Indonesia.(Sumber)






0 komentar:
Posting Komentar