Pemerintah akhirnya menetapkan masuknya bulan Ramadhan 1433 H pada
Sabtu (21/7/2012). Hal tersebut berdasarkan laporan dari sejumlah
daerah yang masuk, tidak satu pun yang melihat hilal atau bulan baru.
"Hilal
tidak bisa dilihat oleh karenanya 1 Ramadhon 1433 Hijriah jatuh pada
hari Sabtu, 21 Juli 2012 Masehi," kata Menteri Agama Suryadharma Ali
pada Sidang Isbat yang digelar di Kementerian Agama, Kamis (19/7/2012)
malam.
Sebelumnya, pakar astronomi dari Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin mengatakan, hilal
ketika matahari terbenam pada Kamis, memang terlalu rendah sehingga
tidak akan bisa terlihat.
Ia mengatakan, hilal sudah di atas
ufuk, tetapi ketinggian hilal kurang dari dua derajat. Kondisi ini
memang membuka peluang terhadap perbedaan.
"Hilal kurang dari
1,5 derajat. Terlalu rendah untuk bisa diamati, cahayanya terlalu
lemah," kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan
Lapan itu di Jakarta, Kamis (19/7/2012).
Meski masuknya Ramadhan
berbeda, Thomas mengatakan, awal Syawal 1433 H (Idul Fitri 2012)
kemungkinan besar akan seragam, yakni jatuh pada 19 Agustus 2012. Hal
ini karena pada saat Maghrib pada 17 Agustus di seluruh wilayah
Indonesia bulan masih di bawah ufuk atau belum wujud sehingga tidak
dalam posisi kritis.
"Dengan rukyat pun tidak mungkin ada
kesaksian hilal. Artinya, 18 Agustus merupakan hari terakhir Ramadhan.
Sementara pada saat Maghrib 18 Agustus, bulan sudah cukup tinggi untuk
bisa dirukyat, jadi ormas-ormas tak berbeda," jelasnya.(Sumber)
Majelis Ulama
Indonesia Kota Bogor, Jawa Barat, mengimbau masyarakat untuk tidak
mempersoalkan perbedaan awal pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan tahun
ini.
"Perbedaan itu rahmat, ketika ada orang lain atau organisasi masyarakat yang berbeda jadwal puasanya, sikapi dengan bijak. Tidak boleh mencela, mencaci maupun memaki," kata Ketua VI Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor Fachrudi Soekarno di Bogor, Kamis.
Menurut Facrudin, Muhammadiyah yang melaksanakan ibadah puasa lebih dulu karena memiliki dasar yang diyakini olehnya. Demikian juga pemerintah yang dengan ahli serta ulama-ulama yang berembuk dalam Sidang Isbat tentunya memiliki perhitungan tersediri.
"Sehingga masyarakat muslim yang lainnya tidak boleh menyikapi perbedaan jadwal dengan menghina ataupun mencaci perbedaan tersebut," katanya.
Fachrudin mengatakan perbedaan jadwal puasa sudah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut hadir untuk mengajarkan umat muslim agar saling menghormati satu sama lain.
Menghadapi perbedaan tersebut, lajut Fachrudin, bagi masyarakat umum yang hendaknya mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga masyarakat tidak khawatir dengan perbedaan.
"Sesuai dengan pepatah Taati Tuhan-Mu, taati Rasul-Mu dan Ulil amri atau pemimpin. Salah satu cara untuk tetap khusyuk menjalani ibadah puasa adalah dengan mentaati pemimpin kita yang sudah menetapkan jadwal sesuai dengan keyakinannya," kata Facrudin.
Sementara itu, sejumlah masyarakat dibuat bingung dengan penetapan Ramadhan oleh pemerintah yang diumumkan setelah Sidang Isbat yang dilakukan malam ini.
Sejumlah masyarakat menunggu keputusan pemerintah untuk menetapkan jatuhnya Ramadhan pada hari Jumat atau Sabtu.
"Kami masih bingung apa malam ini taraweh atau besok malam. Karena masih menunggu putusan pemerintah," kata Wati warga Kelurahan Menteng.
Hal serupa juga disampaikan Deny warga Tanah Sareal, yang ragu untuk puasa pada Jumat atau Sabtu.
"Saya lihat nanti kalau di mesjid depan rumah Shalat Taraweh berarti besok saya puasa. Tapi kalau tidak saya ikut puasanya Sabtu," katanya. (Sumber)
"Perbedaan itu rahmat, ketika ada orang lain atau organisasi masyarakat yang berbeda jadwal puasanya, sikapi dengan bijak. Tidak boleh mencela, mencaci maupun memaki," kata Ketua VI Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor Fachrudi Soekarno di Bogor, Kamis.
Menurut Facrudin, Muhammadiyah yang melaksanakan ibadah puasa lebih dulu karena memiliki dasar yang diyakini olehnya. Demikian juga pemerintah yang dengan ahli serta ulama-ulama yang berembuk dalam Sidang Isbat tentunya memiliki perhitungan tersediri.
"Sehingga masyarakat muslim yang lainnya tidak boleh menyikapi perbedaan jadwal dengan menghina ataupun mencaci perbedaan tersebut," katanya.
Fachrudin mengatakan perbedaan jadwal puasa sudah terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut hadir untuk mengajarkan umat muslim agar saling menghormati satu sama lain.
Menghadapi perbedaan tersebut, lajut Fachrudin, bagi masyarakat umum yang hendaknya mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga masyarakat tidak khawatir dengan perbedaan.
"Sesuai dengan pepatah Taati Tuhan-Mu, taati Rasul-Mu dan Ulil amri atau pemimpin. Salah satu cara untuk tetap khusyuk menjalani ibadah puasa adalah dengan mentaati pemimpin kita yang sudah menetapkan jadwal sesuai dengan keyakinannya," kata Facrudin.
Sementara itu, sejumlah masyarakat dibuat bingung dengan penetapan Ramadhan oleh pemerintah yang diumumkan setelah Sidang Isbat yang dilakukan malam ini.
Sejumlah masyarakat menunggu keputusan pemerintah untuk menetapkan jatuhnya Ramadhan pada hari Jumat atau Sabtu.
"Kami masih bingung apa malam ini taraweh atau besok malam. Karena masih menunggu putusan pemerintah," kata Wati warga Kelurahan Menteng.
Hal serupa juga disampaikan Deny warga Tanah Sareal, yang ragu untuk puasa pada Jumat atau Sabtu.
"Saya lihat nanti kalau di mesjid depan rumah Shalat Taraweh berarti besok saya puasa. Tapi kalau tidak saya ikut puasanya Sabtu," katanya. (Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar